ACRP GERAK

SELAMAT DATANG DI BLOG BERBAGI NIKMATI ARTIKEL YANG ADA

Senin, 11 April 2011

I'll Love You Endlessly


Hoplessly…
I’ll love you endlessly.
Hopelessly…
I’ll give you everything.



*          *          *


    srat… srot….
   Berkali-kali ku sedot ingus hasil tangisku barusan. Entahlah. Padahal ini sudah kali ke empat aku menonton film “A Journey West”. Sebuah film drama korea. Korea? Aku tak begitu yakin. Karena aku tak bisa membedakan antara film Jepang, Korea, dan Cina. Dan aku tak begitu peduli. Yang penting bagiku, ceritanya menarik, mampu membuatku terbawa alur cerita, dan tidak monoton.

   Hhmm… ya. Film itu selalu membuat kelenjar air matakubereaksi hingga kemudian semua air mataku tumpah. Dan saat menontonnya, aku selalu memposisikan diri sebagai “Yu mei yein”. Tokoh utama wanita dalam film tersebut. Yang digambarkan sebagai perempuan berwajah sangat jelek serta berbadan bungkuk. Ia berasal dari golongan siluman. Sebenarnya ia hanya anak pungut. Ibunya yang juga seorang siluman menemukan Mei yein saat masih bayi di tepi sungai. Karena wajah Mei yein yang terlalu jelek, ibunya pun turut ditertawakan oleh siluman lainnya.

   Tapi semua berubah saat Mei yein mengenal seorang biksu muda berwajah tampan bernama Than Shan Chang. Guru dari siluman kera bernama Sun Go Khong.
Hooaamm… tak perlu ku ceritakna lebih banyak lagi. Tapi yang selalu membuatku menangis adalah saat Yu mei yein divonis hukuman mati oleh dewa khayangan karena telah membunuh siluman kuar-kura serta empat raja khayangan. Nah… saat itu juga Tan San Chang dating untuk menyelamatkan Mei yein yang diikat kawat berduri oleh pasukan khayangan. Than San Chang bertarung melawan pasukan dewa khayangan hingga kehilangan kedua kakinya. Tapi ia bersikeras ingin menyelamatkan Mei yein. Mereka selalu mengatakan “Aku Mencintaimu 10.000 Tahun”.

   Duh… sudah sudah. Kenapa aku jadi pengkhayal sih?
Aku harus mandi. Sudah jam 4 sore. Jam 5 nanti aku harus datang ke rumah Dina, teman semasa SMA dulu. Ia mengadakan acara syukuran 40 hari kelahiran anak pertamanya. Teman-temanku… kebanyakan dari mereka sudah menikah dan menjalani hidup yang lebih rumit. Mungkin hanya aku yang belum menyusul mereka. Karena aku masih menunggu. Ya… menunggu pangeran berkuda putih datang menjemputku.
Aaaiihhh... sudahlah. Aku jadi lupa mandi gara-gara lamunanku yang tak penting itu.
Fiuh… tenanglah Anita. Mas Suto pasti datang untukmu.

                                                *          *          *

   malam menyergap mayapada. Sudah 4 jam aku berada dirumah Dina. Kami bersahabat sejak kami duduk di bangku SMP. 3 tahun kemudian kamipun memutuskan bersekolah di SMA yang sama. Namun, setelah lulus SMA Dina memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di bidang perhotelan di Surabaya. Dari situlah ia mengenal Prabowo. Laki-laki yang sekarang mejadi ayah dari anaknya. Lebih tepat lagi suaminya. Sedangkan aku melanjutkan kuliahku di jurusan hukum. Sebelum akhirnya aku menjadi sekertarisdi Dinas Pertanahan Daerah di Cilacap.

“Woy… ngelamun aja.”

Awh…
Bowo menepuk bahuku. Untung saja jantungku tak loncat dari tempatnya. Bagaimana kalau itu sampai terjadi. Ah sudah-sudah.

“Kenapa, Ta?”

tapi hanya ku jawab dengan senyum perih. Ya… memangnya apa yang harus ku jaweab padanya. Aku sendiri bingung.

“Kamu kangen Suto, Ta?”

Tiba-tiba Dina muncul di antara kami, aku dan Bowo. Sambil menggendong bayinya yang baru saja melalui proses cukuran tadi sore.
Aku  hanya semakin tertunduk. Bahkan semakin dalam dan hampir tenggelam dalam tangis.

“Ta… sabar ya. Aku yakin mas Sutomu pasti pulang.” Dina berusaha menghiburku.

Aku segera menengadah dan menahan embun dalam mataku. Ku kembangkan senyum kecil pada mereka.

“Oh iya, si ganteng ini siapa namanya?” Aku berusaha terlihat tegar smbil mencolek pipi si adik bayi dalam  gendongan ibunya.

“Namanya Afriza Suto Wijayanto, Tante.”

Deg…

Itu… itu namaku dan nama mas Suto. Tapi kenapa…

“ Kamu pasti bertanya-tanya kenapa kita pakai nama itu?” Ujar Bowo sambil tersenyum.

“3 hari sebelum Dina melahirkan, aku sempat bermimpi Suto datang kerumahku. Dia minta agar anakku diberi nama Afriza Suto Wijayanto. Afriza diambil dari nama belakangmu, Anita Eka Afriza. Suto dari nama Suto Wijoyo dan Wijayanto dari kata Wijaya, Dina Wijaya. Dan Haryanto, Prabowo Haryanto.” Bowo menjelaskan panjang lebar padaku.

“Tapi kenapa harus begitu?” Aku masih penasaran.

“Suto bilang, biar kamu dan kami selalu teringat pada Suto saat melihat anak kami.”

Aku mengernyitkan dahiku. Ku tatap lekat bayi dalam pangkuan Dina. Ya tuhan… baru ku sadari kalau wajahnya begitu mirip dengan mas Suto.

“Anakmu mirip mas Suto ya, Din.” Ujarku.

Ha… ha… ha…

Mereka terbahak di hadapanku. Hingga sesaat kemudian terhenti.

“Iya, Ta. Tapi ini asli anakku dan mas Bowo loh. Suer!!”

“Ha…ha…ha… ya iyalah. Kalian kan orang tuanya.”

“Eits… jangan piker ini anak Suto ya.” Bowo nyeletuk.

“Ikh… kamu tuh mas.” Dina mencubit pinggang Bowo. Dan kami larut dalam tawa malam itu.

Ku lirik jam dinding di ruang tamu. Ya tuhan… sudah larut malam. Aku segera berpamit pada Dina dan Bowo. Sebenarnya mereka tak tega membiarkan ku pulang seorang diri malam itu. Tapi akhirnya aku bisa meyakinkan mereka kalau aku mampu menjaga diriku. Dan mereka pun membiarkan aku pulang sendirian.

Sebelum pulang, ku tatap dalam-dalam wajah Suto kecil dalam pangkuan Dina. Kau selalu hidup dala  hidupku, mas…

                                                *          *          *

sejak saat itu, saat aku tahu nama anak laki-laki Dina dan Bowo. Aku mulai rutin mengunjungi rumah mereka. Biasanya setelah aku pulang dari kantor. Selalu ku sempatkan untuk mampir walau sekedar melihat wajah Suto kecil. Karena dengan melihatnya, rinduku sedikit terobati. Tapi…

sudah 2 minggu ini nomor ponsel mas Suto tak bisa ku hubungi. Sesekali akumenghubungi keluarga mas Suto di Semarang. Tapi,mereka mengatakan padaku bahwa merekapun belum menerima kabar apapun dari mas Suto.

Mas… kamu dimana? Jangan buat aku cemas dan ketakutan seperti sekarang. Pulanglah.
Dan akhirnya, aku kembali terisak dengan foto mas Suto dalam bingkai di dadaku. Cukup lama aku terisak. Namun tiba-tiba, aku teringat film “A Journey West”. Terakhir kali aku menonton berdua denga mas Suto, itupun 2 tahun yang lalu. Sebelum ia kembali pergi berlayar.

Ia bilang akan datang untuk meminangku. Datang dengan membawa tiket blan madu. Ia begitu menginginkan bulan madu di Hawai. Tapi aku pun selalu ngotot, aku mau bulan madu di Pulau Karimun Jawa. Setelah berdebat hebat, kamipun sepakat untuk berbulan madu di Pulau Karimun Jawa. Mengingat ke Hawai memerlukan biaya yang terlalu merogoh saku kami terlalu dalam.

Mmhh… mungkin lebih baik ku putar lagi DVD film “A Journey West”. Ya… mungkin saja itu bisa sedikit mengobati kelelahanku akan takdir.

Ku nyalakan DVD dan memasukan kasetnya. Filmnya sudah mulai bercerita. Ku nikmati setiap detik film itu. Menghanyutkan.

            “AKU MENCINTAIMU 10.000 TAHUN.”

Kembali ku dengar Mei yein mengatakan hal yang perna ku dengar 2 tahun lalu. Saat aku menontonnya bersama mas Suto. Andai kamu disini mas…

Ku raih ponselku di sofa samping tempat aku duduk. Segera ku cari nama M.B. Suto. Ya… itu nama mas Suto dalam daftar kontak di ponselku. M.B. merupakan singkatan dari My Beloved. Aku terdiam untuk beberapa jenak. Hingga akhirnya ku putuskan untuk kembali menghubungi nomor tersebut. Hatiku harap-harap cemas. Jantungku serasa ingin berlari.

Tut… tut… tut…

HAH????? Nomornya… nomornya bisa dihubungi?? Bukankah…

Klik.

“Halo, sayang.” Suara berat khas mas Suto membuka percakapan antara kami di telpon saat itu.. tanpa sadar air matakumenganak sungai. Pipiku basah tanpa celah.

“Mas…”

“Iya, sayang?”

“Kamu kemana selama ini, mas? Aku kangen kamu.”

Beberapa detrik kemudian suasana berubah hening.

“Aku juga kangen kamu, dik. Aku mau pulag secepatnya. Tapi ndak bisa, dik.”
“Kenapa, mas?”

“Sayang… jangan pikirkan kapan mas pulang. Yakinkan saja dihatimu bahwa aku selalu milikmu. Meski takdir tuhan berkata lain, meski ragaku hilang, jiwaku melayang, aku dan cintaku abadi milikmu. Jangan sedih. Hopplesly… I’ll love you endlessly. Hoplessly… I’ll give you everything. But I won’t give you up. I won’t let you down. But the moment never comes...”

Air mataku semakin deras. Ia selalu menyanyikan lagu itu saat aku rindu.

“Tapi aku mau secepatnya kita nikah, mas.” Ujarku yang masih terisak.

“Jadikan pernikahan kita menjadi sebuah mimpi. Mimpi yang akan selalu hadir di tiap tidurmu, dik.”

“Kenapa harus mimpi, mas? Apa tidak ada kenyataan untuk pernikahan kita?”

“ Karena aku yang akan hadir di dalamnya. Akh… sudahlah, dik. Tunggu saja aku pulang 2 hari lagi.”

“Benar, mas?” aku terlonjak.

“Iya… ya sudah tidur sana. Aku cinta kamu, dik.”

“Iya, mas. Aku juga…”

klik. Belum sempat aku membalas kata terakhirnya, pembicaraan ksmi terputus. Mungkin karena sinyalnya yang tak terlalu bagus.

Mas Suto…
Ku tunggu kedatanganmu 2hari lagi.

                                                *          *          *

20 Januari 2010

Seperti biasa, aku mampir ke rumah Suto kecilnya Dina dan Bowo. Suto kecil langsung ku gendong.

“Din, tadi malam aku telpon mas Suto.”

“terus?” Dina penasaran.

“Dia bilang 2 hari lagi dia pulang.”

“Katanya nomor mas Suto ndak bisa dihubungi?”

“Iya… mungkin tuhan menjawab doaku.”

“Tapi ko Suto ndak ngabari? Padahal dia janji kalau dia pulang pasti dia kabari.” Bowo terlihat keheranan.

“Entahlah…” ujarku lemas.

                                                *          *          *

21 Januari 2010

“Dik…”

suara itu… aku mengenalnya. Itu suara mas Suto.

“Bangun, dik. Aku pulang.”

“Mas…”

mataku terbuka perlahan. Bayangan mas Suto memenuhi ruang penglihatanku. Akupun menghambur ke pelukannya. Ia memegang kedua pipiku. Dan mencium kedua pipiku, kening serta bibirku. Tapi… ada yang berbeda kali ini. Ciuman serta pelukannya terasa dingin. Wajahnya pucat dan tirus.

“Kamu sakit, mas?”

Ia hanya menggeleng perlahan dan tersenyum.

“Dik, ini kalung untukmu.” Ia memakaikan sebuah kalung perak berliontinkan hati. Indahnya.

“Mas, aku mandi dlu ya. Kamu istirahat aja disini.” Aku mencium keningnya dan bergegas bangun dari pembaringan.
Kulihat mas Suto memjamkan matanya begitu cepat. Mungkin ia kelelahan. Sampai-sampai ia tak melepas seragam pelautnya. Ku tarik selimut hingga menutupi tubuhnya.
Sutoku kembali…..

Aku bergegas menuju kamar mandi. Ibu yang terlihat sibuk menyiapkan sarapan untuk kami masih berada di dapur.

“Bu, sudah ketemu mas Suto?” sapaku pada ibu.

“Belum tuh. Mungkin ayahmu lihat. Dari pagi ayah sama Arul di teras.”

“Ayah……….. Ayah……….” Aku berteriak memamnggil ayah.

“Kenapa nduk? Pagi-pagi sudah teriak-teriak?”

“ayah lihat mas Suto datang kan?”

“dari pagi belum ada yang bertamu ke sini, nduk.”

Aku merasa  heran. Apa mungkin ayah dan ibu menyembunyikan kedatangan mas Suto dariku.

“kamu liat ndak, Rul?” tanyaku pada Arul.

   Tapi Arul trlihat gemetar dan ketakutan. Bibirnya bergetar. Wajahnya pasi. Kenapa dia?
Sudahlah. Lebih baik aku mandi dan bergegas untuk berangkat ke kantor.
Aku meraih handuk dan membuka pintu kamar mandi. Aroma khas sabun mandi menyeruak masuk ke dalam hidungku. Ku basuh perlahan air di rambutku, sebelum akhinya membaur dan membasuh seluruh tubuhku.
Segar…

Segera saja ku keringkan tubuhku dengan handuk yang ku bawa. Dan mengenakan pakaian dinasku. Karena hari ini hari kamis, maka pakaian dinasku menjadi pakaian dinas batik. Itu sudah menjadi peraturan PEMDA.

Saatnya sarapan. Lebih bak ku ajak mas Suto untuk sarapan bersama kami. Aku bergegas menuju pembaringan.

“Mas…”

tidak ada jawaban.

“Mas, sarapan yuk. Sudah siap tuh.”

Sekali lagi aku mendapat diam dan hening. ku buka selimut diatas pembaringan.
ITU BUKAN MAS SUTO!!! hanya seonggok guling tertutup selimut. hingga menimbulkan kesan bahwa itu adalah mas Suto yang tengah tertidur.
Aku baelari menuju ruang makan.

"Bu... Yah... lihat mas Suto keluar ndak??" nafasku agak tersenggal.

"Dari tadi ndak ada siapa-siapa, nduk."

"kamu lihat, Rul?"

Tapi Arul masih tampak pucat gemetar. kenapa sih dia??? aaakhh... sudahlah. mungkin hanya kedinginan. aku melengos pergi.

"Ndak sarapan, nduk?" tanya ibu.

"Di kantor aja lah, bu."

Ada apa ini? semua jadi membingungkan. kemana mas Suto pergi?? ini aneh.

                                                                     *            *           *

Kejadian pagi tadi pagi membuat konsentrasiku tak terfokus. buyar. aku gelisah. dari awal aku masuk kantor hingga jam terakhir pikiranku masih tergerus peristiwa tadi pagi.

lebih baik aku ke rumah Dina. mungkin ia bisa membantuku dalam masalah ini.
segera ku bereskan berkas kerja di meja kerjaku. aku tak segera pulang ke rumah. tapi sesuai kebiasaanku, aku singgah terlebih dulu ke rumah Dina. sambil sesekali ku coba menghubungi nomor ponsel mas Suto. tidak aktif???
kenapa ya??? apa mungkin baterai ponsel mas Suto habis?? ya tuhan... ini semakin membuatku pusing.

" mbak, mbak... sudah sampai."

suara supir taksi mengejutkanku. membuyarkan semua lamunanku tentang  mas Suto. ku rogoh saku kanan bajuku dan ku sodorkan 2 lembar uang sepuluh ribuan.

"ini pak." sambil ku buka pintu mobil dan mulai melangkah.

"eh... ada tante Nita. tuh lihat." Dina menyambut kedatanganku sambil menggendong Suto kecil.

ku sunggingkan senyum kecil pada mereka. tanpa basa-basi ku raih Suto kecil dan menggendongnya. peristiwa pulang dan hilangnya mas Suto segera kuceritakan pada Dina dan suaminya.

"aneh...benar-benar aneh. aku berulang kali mencoba menghubungi nomornya tapi tak bisa. coba kita hubungi pakai telpon rumah."

Bowo berusaha keras menghubungi nomor ponsel mas Suto. namun, tetap seperti 2 minggu yang lalu. tak dapat terhubung.

"Ta, nanti kita cari tahu."

Pasangan suami istri itu tampak berusaha menenangkanku yang berwajah kecewa. namun tidak dengan hatiku.
Mas Suto...

                                                             *         *        *

Tak seperti biasanya. hari ini aku tak merasa betah saat singgah dirumah Suto kecil. entahlah. rasanya aku semakin dibuat bingung setelah Bowo gagal saat berusaha menghubungi mas Suto.

Ku hela napas berat yang menggumpal ditengah dada. seolah taju pedangku patah dan menusuk paru. aku ingin mandi. untuk melepas sedikit penat dikepalaku.
lekas ku raih handuk dan bergegas masuk ke kamar mandi.kucuran air menyerupai gerimis perlahan menyerbu rambutku sebelum perlahanmenyeka tiap selaksa tubuhku. ku biarkan hatiku hanyut bersama luruhan sisa sabunyang lekat ditubuhku. tak ada lagi masam keringat serta daki. hawa segar mulai berhembus dan memberi aroma kehidupan.

Sudah mandi. mmhh... bersolek lah sedikit.
owh... rasanya segar. akan lebih segar kalau saat ini aku bersantai di depan televisi.
kulihat Arul tengah asikmenonton acara favoritnya.

"ayah sama ibu kemana, Rul?"   tanyaku sambil mengacak-ngacak tatanan rambutnya.

"ih mbak. aku juga baru selesai mandi nih. masak dibuat semrawut lagi? ibu sama ayah ke rumah bu dhe. kan lagi ada hajat nikahan mas Darno. ibu sama ayah pulang malam. jadi mbak yang masak buat makan malam."

owh... iya. aku baru ingat. kakak sepupuku, mas Darno tengah mengadakan acara hajatan pernikahannya. kenapa aku baru ingat ya? aku jadi tak datang ke acara itu.

"mbak..."   Arul tiba-tiba mengagetkan ku.

"aku mau ngomong. ng... sebenarnya tadi pagi..."

Tiba-tiba ponselku berdering.

"sebentar, Rul. mbak balas dulu sms-nya ya."

pembicaraan kami terputus. Arul terdiam menungguku membalas pesan singkat di ponselku. tapi...

"Dik, aku di rumah Bowo.
 anak mereka mirip aku ya.
 berarti dialah pengobat rindumu, dik.
 Suto Kecil."

dari : M. B. Suto
dikirim : 21 Januari 2010
16 : 30 : 52

segera ku hubungi ponsel mas Suto.
Maaf, nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. mohon periksa kembali nomor tujuan anda.

Apa??? bukankah baru saja ia mengirim sebuah pesan singkat padaku. kenapa nomornya tak bisa ku hubungi kembali?
lebih baik ku beri tahi Dina dan Bowo. untuk memastikan kalau mas Sutobenar-benar berada di rumah mereka.

Tu....t ... Tu...t
Nada sela yang semakin membuatku geram, kesal, serta sedih.
Klik.

"halo, Dina, Bowo..."   suaraku terburu-buru.

"halo, Ta. ada apa? kamu tenang dulu, Ta."   Suara Dina diseberang sana dengan latar belakang suara tangisan bayi yang semakin mengeras.

"Suto kecil kenapa, Din?"

"entahlah. sepulang kamu dari sini, dia tiba-tiba nangis terus, Ta."

"Din, barusan mas Suto kirim sms. dia bilang dia lagi dirumahmu. apa benar, Din?""dirumahku???"   Dina terdengar keheranan.
"Ta, kamu harus lihat berita. harus. pokoknya harus."   tiba-tiba Bowo merebut gagang telpon dari tangan istrinya.

tanpa basa-basi kurebut remote televisi dari genggaman Arul. Arul hanya pasrah saat melihat aku memindah-mindah chanel televisi dan mencari acara berita sore. akhirnya... ku dapatkan juga chanel itu. apa??????
Prakkk.......

Remote yang kugenggam terjatuh dan hancur. ada sesuatu yang menohok jantungku. taju pedangku patah dan menusuk paru. mendung mengitari langitku. air matakupun tak canggung untuk keluar dari kelenjarnya. mulutku ternganga.
perih...  betapa tidak.

Dengan gamblang kudengar bahwa sebuah kapalpesiar yang membawa 102 orang ABK terbakar dan tenggelam di perairan samudra atlantik. kapal yang akan berlayar dari Teluk Meksiko meuju Jepang itu mengalami kebocoran. tangki bahan bakar menjadi pemicu terjadinya kebakaran tersebut. ledakkan tak terelakan. para penumpang menjatuhkan diri mereka ke dalam air dengan putus asa. karena 21 buah sekoci turut hangus terbakar.
peristiwa ini baru diketahui 35 jam setelah insiden berlangsung. secara tak sengaja satelit milik Amerika menangkap gambar manusia tengah dipermainkan gelombang samudra. mereka segera mengirim pasukan tentara angkatan laut serta angkatan udara untuk mengevakuasi mayat-mayat yang tersebar di LAutan Atlantik tersebut. cuaca buruk sempat menghambat proses pencarian korban pada saat itu. sedangkan bangkai kapal perlahan mulai tenggelam ke dasar samudra. dan hanya meninggalkan kepulan asap tebal.
satu hal lagi yang membuat ulu hatiku semakin perih. nama Suto Wijoyo terdaftar sebagai ABK WNI yang hilang pada insiden tersebut.

"mas Suto..."   suaraku terputus saat berita itu berakhir.

Dina serta Bowo akhirnya menyadari bahwa mas Suto benar-benar "pulang" dan berada di tengah-tengah mereka. itulah sebabnya kenapa Suto kecil terus merengek. Arul segera menghubungi ayah serta ibu.
Duniaku gelap. pernikahanku benar-benar menjadi mimpi. mataku di penuhi kunang-kunang berkelip.
gubrak...

"mbak... mbak kenapa?"   terdengar Arul memanggilku dan mengguncang-guncang tubuhku.

                                                               *         *         *

25 Februari 2010

"Suto" ku belum juga ditemukan. ia masih terdaftar sebagai korban hilang. hingga akhirnya keluargaku dan keluarganya memutuskan untuk mengadakan shalat ghaib serta tahlilan. kami putus asa.
terutama aku. pernikahanku...
benar-benar menjadi mimpi. penantianku... sia-sia sudah. yang nyata hanyalah kalung pemberian mas Suto saat ia membangunkanku, dan Suto kecil.
sekarang aku mengerti kenapa ia menginginkan ada namanya ditambahkan pada nama Suto kecil.

inikah takdirmu tuhan??? adilkah semua ini bagiku???

"mbak..."   tiba-tiba Arul datang mengagetkanku yang tengah etrduduk di tepi olam ikan depan rumah.

"ada apa, Rul?"

"maaf, harusnya aku bilang dari awal sama mbak."

"masalah apa?"

"mas Suto..."

"kenapa? ada apa?"

"waktu mbak bilang mas Suto pulang, dan mbak menanyakannya pada ayah, ibu serta aku. sebenarnya aku lihat mas Suto, mbak. wajahnya pucat pasi, ada darah dari mata serta hidungnya. dahinya robek. dia masuk ke kamarmu mbak.
dan sebenarnya mata batinku terbuka lebar, mbak..."

aku tercengang mendengar penuturan Arul. bahkan aku baru tahu kalau adikku memiliki indra ke-6.

"ya sudah, Rul. tidak usah dibahas. lebih baik kamu masuk. anginnya kencang. nanti kamu masu angin."   balasku pelan.

dengan rasa bersalah Arul masuk kembalu kedalam rumahsedangkan aku masih dudukdengan kepala tersandar. pada bahunya, bahu mas Suto.
keabadian cinta membuatnya selalu hidup dalam hidupku.

"mas... dingin. peluk aku."

lalu mas Suto merenhkuh tubuhku dan mendekapnya. I'll love you endlessly, mas Suto.

                                                                          *         *          *